FIKSI - Di tengah keriuhan kota yang tak pernah berhenti, aku merenung di bawah cahaya bulan yang melengkapi kegelapan. Dalam keramaian yang tak terhingga, aku merasa terjebak dalam pusaran tak terlihat yang disebut ekonomi modern. Mungkin bagi sebagian orang, kemajuan teknologi dan kemakmuran material adalah tujuan utama, tetapi bagiku, itu adalah jerat yang mengikat kebebasanku.
Aku ingin bebas dari tekanan yang tak terhindarkan ini. Aku ingin menari di bawah hujan tanpa memikirkan berapa banyak waktu yang terbuang. Aku ingin mengejar matahari terbenam tanpa khawatir akan melupakan tenggat waktu dan tanggung jawab. Namun, di tengah kesibukan yang tak kenal lelah, aku merasa terikat pada kewajiban yang tak berujung.
Bukanlah aku menolak kemajuan, tetapi aku merindukan esensi kehidupan yang sederhana. Aku merindukan waktu untuk bersantai di bawah pohon rindang sambil mendengarkan riuh gemuruh alam. Aku merindukan momen untuk bertukar cerita dengan orang-orang terdekat tanpa harus terburu-buru. Namun, dalam realitas yang terus berubah dengan cepat, aku sering kali merasa terjebak dalam perangkap waktu yang terus berputar.
Saat malam semakin larut, aku berjalan melintasi jalan-jalan yang sepi. Di bawah cahaya remang-remang lampu jalan, aku berpikir tentang makna sejati kebebasan. Bagiku, kebebasan bukanlah tentang memiliki segalanya, tetapi tentang memiliki cukup. Cukup waktu untuk merasakan kehidupan dengan sepenuh hati. Cukup cinta untuk menghangatkan hati yang kedinginan. Cukup kebahagiaan untuk membuat hidup berharga.
Mungkin bagi sebagian orang, kehidupan ini adalah impian yang jauh dari jangkauan. Tetapi bagiku, itu adalah tujuan yang pantas dikejar. Aku ingin membebaskan diri dari tekanan ekonomi modern yang mencekik. Aku ingin menemukan kedamaian dalam kesederhanaan. Aku ingin hidup sesuai dengan ritme alam, bukan pada ketukan uang.
Dengan langkah hati-hati, aku melangkah menuju kedamaian yang kudamba. Meskipun perjalanan itu penuh dengan rintangan dan godaan, aku yakin bahwa aku akan menemukan kebebasan sejati di sana. Karena pada akhirnya, kebebasan bukanlah tentang seberapa banyak yang kita miliki, tetapi seberapa bebas kita merasakan diri kita di dalamnya.
Baca juga:
Janji Manis dan Kopi Pahit
|
Aji Jaya Ruang Sunyi 30, Maret 2024
Udin Komarudin
Ketua DPD. Jurnalis Nasional Indonesia [JNI]